Tulisan ini diberikan untuk pengingat bagi diriku sendiri, agar nanti ketika menjadi orangtua, aku tidak akan melakukan apa yang ibu bapakku pernah lakukan. Mungkin, buku ini tidak akan pernah sampai ke tangan ibu dan bapak, karena aku tidak sampai hati untuk menyampaikannya. Buku ini berfungsi sebagai pengingat bagi diriku dan melepaskan luka yang selama ini kurasakan yang hanya kusimpan sendiri.
Drrrt…
drrrrt…. drrrrt… Handphone-ku bergetar.
Dengan ogah, aku pun mengambil handphone.
Setelah kulihat, ternyata itu telepon dari Ibu. Sejak beberapa hari lalu, Ibu
memang sedang pulang ke kampung halamannya, sehingga kami berhubungan hanya via
gadget.
“Halo, Bu! Ibu
sehat?”
“Iya, dik.
Alhamdulillah Ibu sehat.”
“Dik, bapak tuh
ngeselin. Pak Amir bilang kalau bapak orangnya banyak omongnya, tetapi
tindakannya nol besar. Bapak nggak sayang sama anak dan istrinya, punya harta
nggak diurus.” cerita Ibu panjang kali lebar. Ibu cerita hingga lebih kurang 40
menit lamanya.
Pak
Amir yang diceritakan adalah seseorang yang dipercaya oleh Ibu untuk mengobati
penyakitnya. Beliau berasal dari kampung halamannya, Jepara. Sejak usiaku 6
tahun, ibu selalu sakit-sakitan. Aku ingat sekali, ketika itu, setiap Jumat
malam ibu selalu sakit kepala. Entah kenapa. Hingga akhirnya ibu mempercayai
bahwa Ibu kena guna-guna dari tetangga sebelahnya. Ketika itu, ibu membuka
warung di rumah kontrakan, dan ibu sangat menyukai kegiatan itu. Tak berapa
lama ibu mendirikan warung, tetangga sebelah mengikuti Ibu membuka warung juga.
Entah ilham darimana, ibu berobat ke pengobatan alternatif dan diketahui bahwa
sakitnya ibu itu berasal dari guna-guna tetangga sebelah.
Ibu
sebenarnya memiliki pengalaman serupa sebelum menikah. Menurut cerita, ketika ibu
masih gadis, ia selalu merasa mukanya panas dan penuh dengan jerawat. Ibu
berobat kesana kemari, ke kilinik kecantikan, rumah sakit, dan dokter, tetapi
tidak kunjung sembuh. Kemudian oleh budenya, Ibu diberitahu bahwa ibu sakit
seperti itu karena diguna-guna oleh orang yang menyukai ibu sejak SD. Di
kampung halaman ibuku, masih sangat kental kepercayaan seperti itu. Lalu, ibu
pun sembuh dengan pergi ke orang pintar.
Kepercayan
ibu mengenai hal gaib memang sudah mengakar. Ketika sakit, otomatis ibu
berpikir bahwa ia sakit itu karena kena guna-guna ataupun diserang oleh jin.
Keadaan ini sungguh menyedihkan bagiku. Ada pertentangan batin di diriku. Aku
percaya bahwa ada hal-hal gaib di dunia ini, tetapi jika penyebab sakitnya ibu
karena hal tersebut, aku meragukan. Aku sangat takut jika ibadah ibu selama ini
tidak diterima karena ia percaya akan hal-hal tersebut. Tak tahu apa yang bisa
kulakukan agar ibu berhenti percaya dengan hal-hal tersebut. Persuasi sudah
dilakukan, tetapi ibu tetap bersikeras dengan kepercayaan ibu. Hanya doa di
setiap sujud yang bisa kuusahakan. Aku berdoa agar ibu senantiasa diampuni
dosanya, meninggal dalam keadaan husnulkhatimah,
meninggal dalam keadaan bertobat, dan dijauhkan dari api neraka. Aku takut
sekali, Ibu tidak bahagia di dunia, di akhirat pun tidak bahagia.
Kembali
ke cerita Bapak, bapakku lahir di dekat Candi Prambanan. Beliau lahir dari
orangtua yang cukup berada secara finansial dan memiliki harta waris yang cukup
besar, sekitar dua milyar jika dirupiahkan. Namun, sayangnya bapak tidak pernah
mengurus harta tersebut. Entah apa yang bapak pikirkan.
Saat
ini, kami menetap di ibukota Jawa Barat, mengontrak di sisi kota. Sejak aku
lahir hingga sekarang, kami selalu berpindah-pindah rumah. Malu? Jelas! Malu sekali.
Aku bahkan tak pernah berani mengundang teman untuk main ke rumah karena aku
malu, rumahku hanyalah sebuah kontrakan. Saat ini profesi bapak yaitu sebagai
pasukan kebersihan di kelurahan dan penjual cilok keliling. Menyedihkan!
Mungkin teman-teman akan berpikir aku tidak bersyukur karena bukankah mencari
nafkah itu yang penting halal. Bapak mencarinya dengan halal dan bapak mau
untuk berjuang. Namun, bukan itu yang menjadi masalahku. Selalu menjadi
pertanyaan bagiku, mengapa bapak harus susah-susah seperti itu, sementara bapak
memiliki harta yang cukup besar di tanah kelahirannya. Apa susahnya untuk
mengurus harta waris tersebut? Apa yang bapak takutkan?
Teringat
suatu pengalam ketika aku SD.
“Aiiiir
aiiiir” ujar teman di kelasku.
Bapakku
adalah seorang penjual air keliling dengan menggunakan gerobak. Aku sakit hati
sekali mendengar temanku memanggil namaku dengan sebutan Air. Aku dilahirkan dan dibesarkan di Kota Bandung, dengan kondisi bapak
di PHK ketika usiaku baru 2 tahun. Setelah itu, yang kuingat bapak pernah
menggadaikan ijazahnya untuk membantu menjualkan air pada seorang pemilik torn
air. Menurut cerita dari ibu, bapak pun pernah menjadi sales buku, menjual
rujak, dan lain sebagainya.
Bapakku
sebenarnya merupakan lulusan Pendidikan Bahasa Inggris di suatu Akademi Bahasa
Asing, Namun, setelah mengalami PHK dari kantornya yang lama, entah kenapa bapakku
susah sekali mendapat pekerjaan lagi. Padahal, logikanya di zaman dahulu
memiliki kemampuan Bahasa Inggris menurutku kemampuan langka. Namun, entahlah…
Dengan
dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan perkotaan, membuatku minder memiliki bapak
yang hanya berprofesi sebagai tukang air.
Aku berubah menjadi orang yang sangat minder. Aku takut untuk dihina, aku malu
mengakui bahwa bapakku adalah tukang air.
Aku takut sekali jika aku mengakui profesi bapakku yang hanya tukang air, teman-temanku akan
menjauhiku. Ibu selalu bercerita bahwa keluarga kami dijauhi karena miskin.
Benar
saja, hingga dewasa sebenarnya aku memiliki kecanggungan dalam bersosialisasi
dengan orang lain apalagi sampai memiliki hubungan dekat. Pada akhirnya, aku
jarang sekali memiliki sahabat atau seperti orang-orang yang bisa punya teman
hingga 8 tahun lamanya. Aku membuat benteng untuk duniaku sendiri. Aku takut
tidak diterima.
Secara
langsung, aku memang tidak pernah tidak mengakui beliau sebagai bapakku. Aku
menyayangi bapakku. Aku menganggap bapakku seperti orangtua pada umumnya. Namun,
aku seringkali menahan emosi mengapa bapakku bisa seperti itu. Tidak seperti bapak-bapak
yang lain. Kamu pernah bayangkan tidak? Aku, anak yang berkuliah di PTN, jika
pulang kuliah dijemput hanya menggunakan sepeda? Sebenarnya aku malu, aku
selalu berdoa semoga teman-temanku tidak ada yang melihat.
Belum
lagi, doktrin dari ibuku yang sejak aku kecil, selalu mengatakan bahwa keluarga
bapakku memiliki perangai yang buruk. Oiya, keluargaku juga keluarga rantauan,
jadi kita jarang sekali bertemu saudara. Ditambah ketidak-akuran, akhinya 1
tahun 1 kali bertemu saudara pun tidak. Aku pun merasa aku tidak punya
siapa-siapa selain keluargaku sendiri--berempat.
Bapak
memiliki masalah dengan keluarganya. Masalah keluarga yang umum seringkali
terjadi. Warisan! Sejak aku lahir, aku diceritakan masalah tersebut dengan
sudut pandang bapak dan ibu. Ibu selalu berkata bahwa hal ini disebabkan karena
Bapak yang tidak berani mengungkapkan uneg-uneg
pada keluarganya dan juga tidak berani menghadapi masalah. Hal ini pula yang
menyebabkanku seringkali tidak mau dikalahkan dan disalahkan. Ini terbawa hingga
saat ini.
Akhirnya,
masalah warisan tersebut baru bisa selesai ketika aku sudah lulus kuliah. Aku
memang pernah berbicara di dalam hati “Nanti kalau aku sudah lulus kuliah, akan
aku selesaikan masalahnya”. Tidak menyangka, Allah menakdirkannya secepat itu.
Tepat bersamaan ketika aku Sidang Hasil Penelitian, masalah itu muncul kembali.
Kita sekeluarga diharuskan ke Yogyakarta. Belum lagi, ada perdebatan terlebih
dahulu di rumah. Selepas sidang, kita pun langsung pergi menuju Yogyakarta,
untuk menangani masalah tersebut.
Konflik,
konflik, dan konflik terus menerus terjadi. Akhirnya, setelah aku melakukan
Sidang Komprehensif, kuhadapi semuanya. Aku dan bapak pergi berdua ke
Yogyakarta, menyelesaikan setiap masalah. Seperti biasa, bapakku hanya diam dan
jika ada konflik, cenderung menyerah. Akulah yang harus maju menghadapi masalah
tersebut. Masalah selesai, namun menimbulkan efek psikis di diriku. Sepulang
dari sana, ibuku sempat mengatakan hal-hal yang negatif kepadaku, seperti
“Durhaka”. Padahal, aku memperjuangkan hal tersebut hanya demi ibu, bukan
diriku. Namun, perlakuan yang kuterima dari ibu tak kusangka.
Sampai
di rumah, aku memiliki ketakutan yang besar. Aku takut keluarga bapak akan
memfitnahku, tetapi nanti tidak akan ada yang membela. Bapak diam, ibu
menyalahkan, kakak tidak tau apa-apa. Aku takut. Akhirnya, kuputuskan untuk
mencari bantuan professional. Saat itu, aku belum bisa menerima saran dari
professional untuk pergi saja dari rumah, sehingga aku ingin mencoba bunuh
diri. Konyolnya, aku mencoba bunuh diri dengan membiarkan ikut donor darah
padahal belum makan. Akhirnya aku pingsan. Seminggu setelahnya, akhirnya aku
bisa bangkit kembali. Aku ikhlaskan semua yang sudah terjadi.
Bapak,
aku mengerti menjadi bapak bukanlah hal yang mudah, ada tantangan yang luar
biasa. Sering melakukan kesalahan, tidak tahu sebaiknya seperti apa. Aku hanya
ingin bapak bisa mengayomi keluarga seperti bapak-bapak yang lainnya. Aku hanya
ingin bapak memiliki keinginan untuk berjuang demi anak dan istrinya. Aku sadar,
selama ini bapak telah berjuang semaksimal mungkin yang bapak bisa. Akupun
berusaha untuk tidak menuntut bapak. Namun, luka-luka yang kautorehkan di masa
lalu membuatku lelah. Aku ingin memiliki sosok yang dapat kuteladani.
Istri,
dua anak, gorong-gorong, menjual cilok, dan gadget.
Dalam lingkaran itulah hidup bapakku berputar, hari demi hari, tahun demi
tahun. Bapak bekerja menjadi petugas kebersihan di kelurahan hingga siang.
Kemudian siang hingga malam dilewatkannya dengan berjualan cilok keliling.
Terkadang, dibantu oleh ibu. Ibu berjualan di pagi hari dengan mangkal di depan
sebuah warung.
Seringkali
aku berpikir, usia bapakku sudah tak muda lagi, mau sampai kapan mencari nafkah
dengan jalan seperti itu. Mengapa bapakku tak berjuang saja menjual warisannya
, kemudian membuka usaha, membeli rumah, dan hidup lebih tenang? Entahlah…
Terkadang pikiran orangtua pun sulit sekali ditembus oleh pikiran anak muda
sepertiku.
Teringat
ketika dahulu, aku sedang mempersiapkan diri untuk menghadapi tes SBMPTN. Kala
itu, aku diterima di sebuah beasiswa bimbingan belajar, dan diasramakan agar
fokus belajar. Ketika itu, aku belajar sungguh-sungguh, melebihi teman-teman
lainnya. Masih belajar saat yang lain tidur. Hadirnya bapak di memoriku
sekaligus menjadi suntikan semangat. Aku berjuang demi bapakku!
Namun,
bapak, ternyata menjalani hidup menjadi seorang perempuan dewasa bukanlah hal
yang mudah. Aku sangat bermimpi, jika aku sudah lulus kuliah, aku bisa membantu
bapak dan ibu, bisa meringankan beban bapak dan ibu, bisa mengubah hidup bapak
dan ibu, bisa menaikkan harkat dan martabat bapak dan ibu. Sayangnya, harapan
itu kandas, bapak. Aku tak sanggup memiliki gaji seperti lulusan Perguruan
Tinggi Negeri pada umumnya. Aku merasa gagal. Aku kecewa pada diriku. Aku patah
hati, Bapak.
Bapak,
maafkan aku jika aku seringkali menuntutmu untuk berlaku yang kumau. Aku tak
memikirkan perasaanmu. Aku tak memikirkan sudut pandangmu. Aku hanya berpikir
tentang aku, aku, dan aku. Aku hanya berpikir tentang keinginanku, keinginanku.
Aku luput memikirkan bagaimana jika aku berada di posisi bapak. Aku hanya
berharap bapak bisa terus membahagiakan ibu.
Ibu,
aku hanya berharap ibu bisa bahagia dengan jalan ibu sendiri. Tolong bu, jangan
lagi percaya dengan hal-hal gaib yang menyerang ibu. Aku mohon ibu fokus saja
yakin kepada Allah. Aku sangat sayang pada ibu. Aku selalu setia menemani,
selalu memberikan apa yang ibu inginkan.
Aku
hanya berharap bapak dan ibu selalu akur, bisa saling melepaskan ego
masing-masing. Berdamai dan menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing.
Bahagia dunia dan akhirat. Di masa tua hanya tinngal menikmati hasil jerih
payah di masa muda.
Yang
dirasa setelah menulis surat ini, bingung. Karena sedihnya masih ada, mengingat
kondisi bapak ibu yang tidak pernah berubah, selalu bertengkar, apalagi kemarin
baru saja bertengkar hebat. Jadi, aku sebagai anak hanya berharap semoga
semuanya akan baik-baik saja, dan aku bisa hidup lebih baik dari sekarang, agar
bisa membahagiakan kedua orang tua.
Diperuntukkan untuk kontribusi di Buku Untuk Ayah dan Ibu
0 komentar:
Posting Komentar