Jumat, 20 November 2020

AISYAH – RUMAH TANPA ATAP

 Tulisan ini diberikan untuk pengingat bagi diriku sendiri, agar nanti ketika menjadi orangtua, aku tidak akan melakukan apa yang ibu bapakku pernah lakukan. Mungkin, buku ini tidak akan pernah sampai ke tangan ibu dan bapak, karena aku tidak sampai hati untuk menyampaikannya. Buku ini berfungsi sebagai pengingat bagi diriku dan melepaskan luka yang selama ini kurasakan yang hanya kusimpan sendiri.

Drrrt… drrrrt…. drrrrt… Handphone-ku bergetar. Dengan ogah, aku pun mengambil handphone. Setelah kulihat, ternyata itu telepon dari Ibu. Sejak beberapa hari lalu, Ibu memang sedang pulang ke kampung halamannya, sehingga kami berhubungan hanya via gadget.

“Halo, Bu! Ibu sehat?”

“Iya, dik. Alhamdulillah Ibu sehat.”

“Dik, bapak tuh ngeselin. Pak Amir bilang kalau bapak orangnya banyak omongnya, tetapi tindakannya nol besar. Bapak nggak sayang sama anak dan istrinya, punya harta nggak diurus.” cerita Ibu panjang kali lebar. Ibu cerita hingga lebih kurang 40 menit lamanya.

Pak Amir yang diceritakan adalah seseorang yang dipercaya oleh Ibu untuk mengobati penyakitnya. Beliau berasal dari kampung halamannya, Jepara. Sejak usiaku 6 tahun, ibu selalu sakit-sakitan. Aku ingat sekali, ketika itu, setiap Jumat malam ibu selalu sakit kepala. Entah kenapa. Hingga akhirnya ibu mempercayai bahwa Ibu kena guna-guna dari tetangga sebelahnya. Ketika itu, ibu membuka warung di rumah kontrakan, dan ibu sangat menyukai kegiatan itu. Tak berapa lama ibu mendirikan warung, tetangga sebelah mengikuti Ibu membuka warung juga. Entah ilham darimana, ibu berobat ke pengobatan alternatif dan diketahui bahwa sakitnya ibu itu berasal dari guna-guna tetangga sebelah.

Ibu sebenarnya memiliki pengalaman serupa sebelum menikah. Menurut cerita, ketika ibu masih gadis, ia selalu merasa mukanya panas dan penuh dengan jerawat. Ibu berobat kesana kemari, ke kilinik kecantikan, rumah sakit, dan dokter, tetapi tidak kunjung sembuh. Kemudian oleh budenya, Ibu diberitahu bahwa ibu sakit seperti itu karena diguna-guna oleh orang yang menyukai ibu sejak SD. Di kampung halaman ibuku, masih sangat kental kepercayaan seperti itu. Lalu, ibu pun sembuh dengan pergi ke orang pintar.

Kepercayan ibu mengenai hal gaib memang sudah mengakar. Ketika sakit, otomatis ibu berpikir bahwa ia sakit itu karena kena guna-guna ataupun diserang oleh jin. Keadaan ini sungguh menyedihkan bagiku. Ada pertentangan batin di diriku. Aku percaya bahwa ada hal-hal gaib di dunia ini, tetapi jika penyebab sakitnya ibu karena hal tersebut, aku meragukan. Aku sangat takut jika ibadah ibu selama ini tidak diterima karena ia percaya akan hal-hal tersebut. Tak tahu apa yang bisa kulakukan agar ibu berhenti percaya dengan hal-hal tersebut. Persuasi sudah dilakukan, tetapi ibu tetap bersikeras dengan kepercayaan ibu. Hanya doa di setiap sujud yang bisa kuusahakan. Aku berdoa agar ibu senantiasa diampuni dosanya, meninggal dalam keadaan husnulkhatimah, meninggal dalam keadaan bertobat, dan dijauhkan dari api neraka. Aku takut sekali, Ibu tidak bahagia di dunia, di akhirat pun tidak bahagia. 

Kembali ke cerita Bapak, bapakku lahir di dekat Candi Prambanan. Beliau lahir dari orangtua yang cukup berada secara finansial dan memiliki harta waris yang cukup besar, sekitar dua milyar jika dirupiahkan. Namun, sayangnya bapak tidak pernah mengurus harta tersebut. Entah apa yang bapak pikirkan.

Saat ini, kami menetap di ibukota Jawa Barat, mengontrak di sisi kota. Sejak aku lahir hingga sekarang, kami selalu berpindah-pindah rumah. Malu? Jelas! Malu sekali. Aku bahkan tak pernah berani mengundang teman untuk main ke rumah karena aku malu, rumahku hanyalah sebuah kontrakan. Saat ini profesi bapak yaitu sebagai pasukan kebersihan di kelurahan dan penjual cilok keliling. Menyedihkan! Mungkin teman-teman akan berpikir aku tidak bersyukur karena bukankah mencari nafkah itu yang penting halal. Bapak mencarinya dengan halal dan bapak mau untuk berjuang. Namun, bukan itu yang menjadi masalahku. Selalu menjadi pertanyaan bagiku, mengapa bapak harus susah-susah seperti itu, sementara bapak memiliki harta yang cukup besar di tanah kelahirannya. Apa susahnya untuk mengurus harta waris tersebut? Apa yang bapak takutkan?

Teringat suatu pengalam ketika aku SD.

“Aiiiir aiiiir” ujar teman di kelasku.

Bapakku adalah seorang penjual air keliling dengan menggunakan gerobak. Aku sakit hati sekali mendengar temanku memanggil namaku dengan sebutan Air. Aku dilahirkan dan dibesarkan di Kota Bandung, dengan kondisi bapak di PHK ketika usiaku baru 2 tahun. Setelah itu, yang kuingat bapak pernah menggadaikan ijazahnya untuk membantu menjualkan air pada seorang pemilik torn air. Menurut cerita dari ibu, bapak pun pernah menjadi sales buku, menjual rujak, dan lain sebagainya.

Bapakku sebenarnya merupakan lulusan Pendidikan Bahasa Inggris di suatu Akademi Bahasa Asing, Namun, setelah mengalami PHK dari kantornya yang lama, entah kenapa bapakku susah sekali mendapat pekerjaan lagi. Padahal, logikanya di zaman dahulu memiliki kemampuan Bahasa Inggris menurutku kemampuan langka. Namun, entahlah…

Dengan dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan perkotaan, membuatku minder memiliki bapak yang hanya berprofesi sebagai tukang air. Aku berubah menjadi orang yang sangat minder. Aku takut untuk dihina, aku malu mengakui bahwa bapakku adalah tukang air. Aku takut sekali jika aku mengakui profesi bapakku yang hanya tukang air, teman-temanku akan menjauhiku. Ibu selalu bercerita bahwa keluarga kami dijauhi karena miskin.

Benar saja, hingga dewasa sebenarnya aku memiliki kecanggungan dalam bersosialisasi dengan orang lain apalagi sampai memiliki hubungan dekat. Pada akhirnya, aku jarang sekali memiliki sahabat atau seperti orang-orang yang bisa punya teman hingga 8 tahun lamanya. Aku membuat benteng untuk duniaku sendiri. Aku takut tidak diterima.

Secara langsung, aku memang tidak pernah tidak mengakui beliau sebagai bapakku. Aku menyayangi bapakku. Aku menganggap bapakku seperti orangtua pada umumnya. Namun, aku seringkali menahan emosi mengapa bapakku bisa seperti itu. Tidak seperti bapak-bapak yang lain. Kamu pernah bayangkan tidak? Aku, anak yang berkuliah di PTN, jika pulang kuliah dijemput hanya menggunakan sepeda? Sebenarnya aku malu, aku selalu berdoa semoga teman-temanku tidak ada yang melihat.

Belum lagi, doktrin dari ibuku yang sejak aku kecil, selalu mengatakan bahwa keluarga bapakku memiliki perangai yang buruk. Oiya, keluargaku juga keluarga rantauan, jadi kita jarang sekali bertemu saudara. Ditambah ketidak-akuran, akhinya 1 tahun 1 kali bertemu saudara pun tidak. Aku pun merasa aku tidak punya siapa-siapa selain keluargaku sendiri--berempat.

Bapak memiliki masalah dengan keluarganya. Masalah keluarga yang umum seringkali terjadi. Warisan! Sejak aku lahir, aku diceritakan masalah tersebut dengan sudut pandang bapak dan ibu. Ibu selalu berkata bahwa hal ini disebabkan karena Bapak yang tidak berani mengungkapkan uneg-uneg pada keluarganya dan juga tidak berani menghadapi masalah. Hal ini pula yang menyebabkanku seringkali tidak mau dikalahkan dan disalahkan. Ini terbawa hingga saat ini.

Akhirnya, masalah warisan tersebut baru bisa selesai ketika aku sudah lulus kuliah. Aku memang pernah berbicara di dalam hati “Nanti kalau aku sudah lulus kuliah, akan aku selesaikan masalahnya”. Tidak menyangka, Allah menakdirkannya secepat itu. Tepat bersamaan ketika aku Sidang Hasil Penelitian, masalah itu muncul kembali. Kita sekeluarga diharuskan ke Yogyakarta. Belum lagi, ada perdebatan terlebih dahulu di rumah. Selepas sidang, kita pun langsung pergi menuju Yogyakarta, untuk menangani masalah tersebut.

Konflik, konflik, dan konflik terus menerus terjadi. Akhirnya, setelah aku melakukan Sidang Komprehensif, kuhadapi semuanya. Aku dan bapak pergi berdua ke Yogyakarta, menyelesaikan setiap masalah. Seperti biasa, bapakku hanya diam dan jika ada konflik, cenderung menyerah. Akulah yang harus maju menghadapi masalah tersebut. Masalah selesai, namun menimbulkan efek psikis di diriku. Sepulang dari sana, ibuku sempat mengatakan hal-hal yang negatif kepadaku, seperti “Durhaka”. Padahal, aku memperjuangkan hal tersebut hanya demi ibu, bukan diriku. Namun, perlakuan yang kuterima dari ibu tak kusangka.

Sampai di rumah, aku memiliki ketakutan yang besar. Aku takut keluarga bapak akan memfitnahku, tetapi nanti tidak akan ada yang membela. Bapak diam, ibu menyalahkan, kakak tidak tau apa-apa. Aku takut. Akhirnya, kuputuskan untuk mencari bantuan professional. Saat itu, aku belum bisa menerima saran dari professional untuk pergi saja dari rumah, sehingga aku ingin mencoba bunuh diri. Konyolnya, aku mencoba bunuh diri dengan membiarkan ikut donor darah padahal belum makan. Akhirnya aku pingsan. Seminggu setelahnya, akhirnya aku bisa bangkit kembali. Aku ikhlaskan semua yang sudah terjadi.

Bapak, aku mengerti menjadi bapak bukanlah hal yang mudah, ada tantangan yang luar biasa. Sering melakukan kesalahan, tidak tahu sebaiknya seperti apa. Aku hanya ingin bapak bisa mengayomi keluarga seperti bapak-bapak yang lainnya. Aku hanya ingin bapak memiliki keinginan untuk berjuang demi anak dan istrinya. Aku sadar, selama ini bapak telah berjuang semaksimal mungkin yang bapak bisa. Akupun berusaha untuk tidak menuntut bapak. Namun, luka-luka yang kautorehkan di masa lalu membuatku lelah. Aku ingin memiliki sosok yang dapat kuteladani.

Istri, dua anak, gorong-gorong, menjual cilok, dan gadget. Dalam lingkaran itulah hidup bapakku berputar, hari demi hari, tahun demi tahun. Bapak bekerja menjadi petugas kebersihan di kelurahan hingga siang. Kemudian siang hingga malam dilewatkannya dengan berjualan cilok keliling. Terkadang, dibantu oleh ibu. Ibu berjualan di pagi hari dengan mangkal di depan sebuah warung.

Seringkali aku berpikir, usia bapakku sudah tak muda lagi, mau sampai kapan mencari nafkah dengan jalan seperti itu. Mengapa bapakku tak berjuang saja menjual warisannya , kemudian membuka usaha, membeli rumah, dan hidup lebih tenang? Entahlah… Terkadang pikiran orangtua pun sulit sekali ditembus oleh pikiran anak muda sepertiku.

Teringat ketika dahulu, aku sedang mempersiapkan diri untuk menghadapi tes SBMPTN. Kala itu, aku diterima di sebuah beasiswa bimbingan belajar, dan diasramakan agar fokus belajar. Ketika itu, aku belajar sungguh-sungguh, melebihi teman-teman lainnya. Masih belajar saat yang lain tidur. Hadirnya bapak di memoriku sekaligus menjadi suntikan semangat. Aku berjuang demi bapakku!

Namun, bapak, ternyata menjalani hidup menjadi seorang perempuan dewasa bukanlah hal yang mudah. Aku sangat bermimpi, jika aku sudah lulus kuliah, aku bisa membantu bapak dan ibu, bisa meringankan beban bapak dan ibu, bisa mengubah hidup bapak dan ibu, bisa menaikkan harkat dan martabat bapak dan ibu. Sayangnya, harapan itu kandas, bapak. Aku tak sanggup memiliki gaji seperti lulusan Perguruan Tinggi Negeri pada umumnya. Aku merasa gagal. Aku kecewa pada diriku. Aku patah hati, Bapak.

Bapak, maafkan aku jika aku seringkali menuntutmu untuk berlaku yang kumau. Aku tak memikirkan perasaanmu. Aku tak memikirkan sudut pandangmu. Aku hanya berpikir tentang aku, aku, dan aku. Aku hanya berpikir tentang keinginanku, keinginanku. Aku luput memikirkan bagaimana jika aku berada di posisi bapak. Aku hanya berharap bapak bisa terus membahagiakan ibu.

Ibu, aku hanya berharap ibu bisa bahagia dengan jalan ibu sendiri. Tolong bu, jangan lagi percaya dengan hal-hal gaib yang menyerang ibu. Aku mohon ibu fokus saja yakin kepada Allah. Aku sangat sayang pada ibu. Aku selalu setia menemani, selalu memberikan apa yang ibu inginkan.

Aku hanya berharap bapak dan ibu selalu akur, bisa saling melepaskan ego masing-masing. Berdamai dan menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing. Bahagia dunia dan akhirat. Di masa tua hanya tinngal menikmati hasil jerih payah di masa muda.

Yang dirasa setelah menulis surat ini, bingung. Karena sedihnya masih ada, mengingat kondisi bapak ibu yang tidak pernah berubah, selalu bertengkar, apalagi kemarin baru saja bertengkar hebat. Jadi, aku sebagai anak hanya berharap semoga semuanya akan baik-baik saja, dan aku bisa hidup lebih baik dari sekarang, agar bisa membahagiakan kedua orang tua.

Diperuntukkan untuk kontribusi di Buku Untuk Ayah dan Ibu

0 komentar:

Posting Komentar