Aku ingin pergi keluar dari rumah. Keinginan tersebut sudah ada sejak aku berada di
tingkat SMK. Bahkan, bisa dibilang dahulu aku ingin masuk SMK tersebut karena
ingin sibuk, tidak mau lama-lama berada di rumah. Aku kesal ketika ibuku selalu
complain dengan apa yang orang lain
lakukan padanya. Dari yang paling sederhana, mengomentari pekerjaanku.
“Kamu nyuci
piringnya enggak bersih, ini masih bau sabun.”
Atau di kesempatan
lainnya
“Bapak itu pasti
sengaja mengganti resletingnya, ini tas dibenerin kok malah jadi jelek.” saat
ia menerima tas yang ia benarkan ke tempat reparasi tas.
Atau
“Ini nyuci
motornya nggak bersih, saya nggak mau nyuci motor disana lagi.” setelah
motormya dicuci di sebuah pencucian motor.
Ada banyak sekali
keluhannya. Aku tidak tahan mendengarnya terus-menerus, bisa tidak untuk
memaklumi orang? Bisa tidak untuk santai jika ada kesalahan? Kenapa selalu
minta sesuatu yang sempurna, semua harus dengan standarnya? Entahlah. Mungkin,
memang begitulah sifatnya. Namun, jika ibuku yang melakukan kesalahan, ia akan
membela dirinya. Aku tidak tahu apa yang terjadi di masa mudanya, sehingga ia
bisa memiliki karakter seperti itu.
Sampai kemarin,
saat ibuku pulang dari kampung halamannya, ia pun bercerita banyak hal
kepadaku. Ya, ibuku memang senang berbicara dan bercerita, terutama kepadaku.
Sambil aku masih saja asyik dengan kesibukanku, belajar bahasa Inggris. Ia pun
menceritakan hal yang membuatku muak.
“Dik, pak Anto itu
jahat, mencelakakan Ibu, dosa loh!” cerita Ibu
“Loh kok bisa, Bu?”
aku menanggapinya
“Iya, di rumah ini
ada setan yang mengganggu, seharusnya setannya dikeluarkan terlebih dahulu,
baru dikontrakkan. Aneh dik, saya mau ngontrak dicepet-cepetin, biasanya orang
ngontrakkin nggak pernah kayak gitu.” keluh Ibu.
Deg. Aku tersontak
kaget. Ada hal yang tidak aku terima saat itu. Pak Anto adalah tetangga kami
yang mengontrakkan rumah anaknya di awal tahun. Bahkan selain bersedia untuk
rumahnya dikontrak oleh kami, ia pun memberi keringanan dengan kami hanya
membayar satu juta lebih murah dari yang seharusnya. Maka, rasanya jahat sekali
jika Ibu menuduh seseorang yang sudah berbuat baik, mencelakakan Ibu, apalagi
berkaitan dengan setan.
“Nggak lah, Bu,
pak Anto kan udah baik sama kita, beliau mau mengontrakkan rumahnya ke kita.”
jawabku dengan raut wajah mengkerut, masih tidak terima dengan pernyataannya.
“Nggak, dik, pak
Anto itu sengaja, harusnya dia bilang kalau disini ada setan yang mengganggu,
dan dikeluarkan dahulu, baru dikontrakan ke kita.” Ibu keras kepala menjelaskannya.
Aku tidak habis
pikir dengan apa yang ibuku pikirkan. Bagaimana bisa ia selalu menghubungkan
segala sesuatu dengan setan. Bahkan, ia bilang setan itu keterlaluan karena
telah mencampuri kehidupan manusia. Hmmm… cukup aneh pikirku. Tugas setan kan
memang mengganggu manusia. Bagaimana manusia meresponnya, itulah yang
menjadikan berbeda. Bukankan mausia memiliki akal, setan tidak? Bukankan setan
memang akan masuk neraka, sementara manusia punya pilihan, syurga atau neraka? Aku
tidak tahan dengan pikiran-pikiran Ibu. Aku hanya ingin ibu menjaga ucapan yang
keluar dari mulutnya. Janganlah hal-hal yang negatif terus-menerus, nanti
bagaimana jika itu kembali ke ibu sendiri. Aku mengkhawatirkannya dan berusaha
untuk menjelaskan.
“Ibu kan hanya
cerita, bukan bener-bener menjelekkan pak Anto, dek.” Ibu berusaha menjelaskan
Memang, di dalam
hatiku pun timbul perasaan gamang. Jangan-jangan, aku saja yang salah
menanggapi, ibu hanya cerita, tetapi aku malah menanggapinya begitu. Aku pun
kemudian masuk ke kamar, sudah tidak mau lagi berdebat dengan ibu.
Beberapa saat
kemudian, dari luar kamar, ibu berbicara kepadaku. “Kenapa semangkanya ditaruh
di freezer? Memang kamu nggak tahu kalau nggak bisa ditaruh di freezer, saya
udah bilang, taruh saja di kulkas” Aku kesal. Aku juga bingung saat itu, ketika
bapak pulang dan membawa semangka besar dengan berat lebih kurang 5 kg, tidak
mungkin habis dalam satu waktu, tetapi jika ditaruh di kulkas akan tidak enak,
mau dibuat jus, blender rusak.
Sehingga yang aku pikirkan saat itu, biarlah yang penting tidak basi. Namun,
ternyata semangkanya jadi tidak bisa dimakan. Ada perasaan bahwa ibu tidak
mengerti posisiku. Aku jawab saja, “nggak tahu, bu!”. Ibuku menanggapi, “Masak
tidak tahu, saya kan sudah berpesan!”. Aku yang sedari tadi menahan emosi,
akhirnya memuntahkan segalanya. Kubilang, “Ketika menaruh semangka, ada Kakak
dan Bapak juga, kenapa aku yang disalahkan?”. “Ibu tidak menyalahkan, ibu hanya
bertanya.”
Seketika, di hatiku seperti ada api yang membara. Ingin rasanya ibu mengerti dengan apa yang kumaksud. Bisakah ibu sedikit saja
#DAY 35
0 komentar:
Posting Komentar