Jumat, 20 November 2020

BELUM SELESAI


Aku ingin pergi keluar dari rumah. Keinginan tersebut sudah ada sejak aku berada di tingkat SMK. Bahkan, bisa dibilang dahulu aku ingin masuk SMK tersebut karena ingin sibuk, tidak mau lama-lama berada di rumah. Aku kesal ketika ibuku selalu complain dengan apa yang orang lain lakukan padanya. Dari yang paling sederhana, mengomentari pekerjaanku.

“Kamu nyuci piringnya enggak bersih, ini masih bau sabun.”

Atau di kesempatan lainnya

“Bapak itu pasti sengaja mengganti resletingnya, ini tas dibenerin kok malah jadi jelek.” saat ia menerima tas yang ia benarkan ke tempat reparasi tas.

Atau

“Ini nyuci motornya nggak bersih, saya nggak mau nyuci motor disana lagi.” setelah motormya dicuci di sebuah pencucian motor.

Ada banyak sekali keluhannya. Aku tidak tahan mendengarnya terus-menerus, bisa tidak untuk memaklumi orang? Bisa tidak untuk santai jika ada kesalahan? Kenapa selalu minta sesuatu yang sempurna, semua harus dengan standarnya? Entahlah. Mungkin, memang begitulah sifatnya. Namun, jika ibuku yang melakukan kesalahan, ia akan membela dirinya. Aku tidak tahu apa yang terjadi di masa mudanya, sehingga ia bisa memiliki karakter seperti itu.

Sampai kemarin, saat ibuku pulang dari kampung halamannya, ia pun bercerita banyak hal kepadaku. Ya, ibuku memang senang berbicara dan bercerita, terutama kepadaku. Sambil aku masih saja asyik dengan kesibukanku, belajar bahasa Inggris. Ia pun menceritakan hal yang membuatku muak.

“Dik, pak Anto itu jahat, mencelakakan Ibu, dosa loh!” cerita Ibu

“Loh kok bisa, Bu?” aku menanggapinya

“Iya, di rumah ini ada setan yang mengganggu, seharusnya setannya dikeluarkan terlebih dahulu, baru dikontrakkan. Aneh dik, saya mau ngontrak dicepet-cepetin, biasanya orang ngontrakkin nggak pernah kayak gitu.” keluh Ibu.

Deg. Aku tersontak kaget. Ada hal yang tidak aku terima saat itu. Pak Anto adalah tetangga kami yang mengontrakkan rumah anaknya di awal tahun. Bahkan selain bersedia untuk rumahnya dikontrak oleh kami, ia pun memberi keringanan dengan kami hanya membayar satu juta lebih murah dari yang seharusnya. Maka, rasanya jahat sekali jika Ibu menuduh seseorang yang sudah berbuat baik, mencelakakan Ibu, apalagi berkaitan dengan setan.

“Nggak lah, Bu, pak Anto kan udah baik sama kita, beliau mau mengontrakkan rumahnya ke kita.” jawabku dengan raut wajah mengkerut, masih tidak terima dengan pernyataannya.

“Nggak, dik, pak Anto itu sengaja, harusnya dia bilang kalau disini ada setan yang mengganggu, dan dikeluarkan dahulu, baru dikontrakan ke kita.” Ibu keras kepala menjelaskannya.

Aku tidak habis pikir dengan apa yang ibuku pikirkan. Bagaimana bisa ia selalu menghubungkan segala sesuatu dengan setan. Bahkan, ia bilang setan itu keterlaluan karena telah mencampuri kehidupan manusia. Hmmm… cukup aneh pikirku. Tugas setan kan memang mengganggu manusia. Bagaimana manusia meresponnya, itulah yang menjadikan berbeda. Bukankan mausia memiliki akal, setan tidak? Bukankan setan memang akan masuk neraka, sementara manusia punya pilihan, syurga atau neraka? Aku tidak tahan dengan pikiran-pikiran Ibu. Aku hanya ingin ibu menjaga ucapan yang keluar dari mulutnya. Janganlah hal-hal yang negatif terus-menerus, nanti bagaimana jika itu kembali ke ibu sendiri. Aku mengkhawatirkannya dan berusaha untuk menjelaskan.

“Ibu kan hanya cerita, bukan bener-bener menjelekkan pak Anto, dek.” Ibu berusaha menjelaskan

Memang, di dalam hatiku pun timbul perasaan gamang. Jangan-jangan, aku saja yang salah menanggapi, ibu hanya cerita, tetapi aku malah menanggapinya begitu. Aku pun kemudian masuk ke kamar, sudah tidak mau lagi berdebat dengan ibu.

Beberapa saat kemudian, dari luar kamar, ibu berbicara kepadaku. “Kenapa semangkanya ditaruh di freezer? Memang kamu nggak tahu kalau nggak bisa ditaruh di freezer, saya udah bilang, taruh saja di kulkas” Aku kesal. Aku juga bingung saat itu, ketika bapak pulang dan membawa semangka besar dengan berat lebih kurang 5 kg, tidak mungkin habis dalam satu waktu, tetapi jika ditaruh di kulkas akan tidak enak, mau dibuat jus, blender rusak. Sehingga yang aku pikirkan saat itu, biarlah yang penting tidak basi. Namun, ternyata semangkanya jadi tidak bisa dimakan. Ada perasaan bahwa ibu tidak mengerti posisiku. Aku jawab saja, “nggak tahu, bu!”. Ibuku menanggapi, “Masak tidak tahu, saya kan sudah berpesan!”. Aku yang sedari tadi menahan emosi, akhirnya memuntahkan segalanya. Kubilang, “Ketika menaruh semangka, ada Kakak dan Bapak juga, kenapa aku yang disalahkan?”. “Ibu tidak menyalahkan, ibu hanya bertanya.”

Seketika, di hatiku seperti ada api yang membara. Ingin rasanya ibu mengerti dengan apa yang kumaksud. Bisakah ibu sedikit saja

#DAY 35

0 komentar:

Posting Komentar