Rabu, 06 Januari 2021

,

SAKIT HATI ATAU?

Ketika sedang semangat-semangatnya belajar menulis, saya mulai mencari beberapa kelas atau komunitas yang menyelenggarakan kegiatan menulis. Akhirnya, bertemu dengan ajakan Nulis Bareng Cerpen dengan sebuah penerbit. Menarik nih. Akhirnya, aku ikuti segala prosesnya. Meski gratis, pelayanannya sangat memuaskan, kami mendapatkan tugas dan juga materi. Ada pula tugas akhir yang kemudian jika terpilih, cerpennya akan dibukukan. 

Singkat cerita, ada tugas membuat outline dengan tema IBU. Sebenarnya, saya belum punya pengalaman menulis, namun saya sangat bersemangat mengerjakan tugas tersebut. Menantang bagiku. Saya pun membuat outline dengan cerita anak yang dilahirkan dalam kondisi kekurangan finansial dan Ibu yang mudah marah hingga membuat sang anak tertekan dan ingin bunuh diri. Namun, outline tersebut mendapat koreksi, sudah banyak cerita Ibu miskin, akhirnya saya diminta untuk mengganti ceritanya. 

Sekian lama berpikir, akhirnya saya terinspirasi dari Drakor Startup, drama korea yang sedang ramai-ramainya dan baru saja selesai tayang. Dengan segala usaha, akhirnya outline pun selesai. Saya kirimkan ke grup, lalu ada seseorang yang mengomentari, "Ini kayak drakor Startup", tak lama komentar itu dihapusnya. 

DEG!!! Hati saya berkecamuk saat itu. Iya sih, terinspirasi, tetapi ini sudah diganti kok. Saya juga ini sudah usaha kok. Kesal? Jelas. Bete sama orangnya? Iya. Namun, akhirnya saya berpikir lagi. Ini feedback. Feedback itu netral, sehingga saya pun mengambil sikap. Benar juga ya, kalau nanti sama mentor saya dikomentarin dan disuruh revisi lagi, lebih parah. Saya pun berusaha berpikir lagi membuat cerpen yang menarik.

Beberapa jam kemudian, jadilah outline terbaru dan saya kirimkan ke grup. Besok paginya, mentor pun membaca dan langsung menyetujui. Alhamdulillah. Singkat cerita, kami mendapat tugas untuk mengembangkan cerpen dari outline tersebut. Segera saya buat semenarik dan serealistis mungkin. Tiba di akhir pengumuman, Alhamdulillah cerpen saya terpilih menjadi salah satu dari 20 orang yang terpilih untuk dibukukan. 

Flashback ketika saya diberikan feedback oleh salah satu anggota grup. Jika saat itu saya kesal kemudian saya cuek saja, mungkin cerita saya akan berbeda, mungkin cerpen saya tidak akan terpilih. Mulai saat ini, saya belajar memahami emosi saya. Jika sedih atau marah, saya terima emosi tersebut, kemudian saya bertanya apa yang membuat diri saya sedih, saya marah. Alhamdulillah hidup jadi lebih tenang. 

Continue reading SAKIT HATI ATAU?
,

ORANG BAIK

"Dik, bangun! Sudah jam tujuh!" ujar Kakak

"Hah? Sudah jam tujuh? Padahal niat bangun jam tiga, kemudian olahraga di jam 6 pagi!" ujarku masih menguap. 

Bukannya segera bangun dan membersihkan diri ke kamar mandi, aku malah asyik bermain Hp, tak terkira ternyata sudah jam delapan. Buru-buru aku pergi ke kamar mandi, karena aku pun harus mengantar Ibu pergi berjualan. 

Seperti biasa, aku mengantar Ibu dengan motor Mio, motor tersebut sudah lama dan juga hasil pemberian saudara. Ya, aku terbiasa memakai motor itu, karena motor milikku sering digunakan Kakak untuk bekerja, sehingga aku terbiasa memakai Mio. Baru beberapa rumah berjalan, motor pun mati. Oh, mungkin habis bensin. Motor ini memang boros bensinnya dan seringkali mati mendadak hanya karena kehabisan bensin. Kubuka jok motor dan kuperiksa tangki bensin, ternyata masih ada. 

Lalu, ada seorang anak mendekat.

"Kenapa teh, motornya?" 

"Nggak tahu, bensinnya masih ada."

"Coba teh, saya cek"

Kuberikan kunci motor dan mulailah ia menyelah motor dan motor pun hidup. "Ini belum panas teh motornya." ucap anak tersebut. 

Dan akhirnya motor pun menyala. Alhamdulillah.

Anak laki-laki tersebut adalah anak yang tinggal di panti asuhan dekat rumah. 

Ternyata masih ada orang baik di zaman seperti ini. Alhamdulillah. 

Sampailah ke tempat jualan Ibu dengan selamat.

Terlintas di pikiranku, anak baik yang tadi menolongku, mungkin saja balasan dari kebaikan Ayahku. Iya, seringkali Ayah bercerita ia seringkali menolong oranglain, yang akhirnya membuat ia mendapatkan rejeki tak diduga-duga. 

Hikmah kejadian hari itu, bisa saja saya menjadi kesal karena motor mati-nyala-mati-nyala, tetapi karena saya mengambil makna yang berbeda, maka saya bahkan bisa mengambil hikmah yang jauh lebih penting. 

Saya pun teringat dengan pesan yang baru-baru ini saya baca.

5 kebiasaan sederhana...

Namun jika dilakukan, akan melancarkan rezeki sehari-hari.

1. Berikanlah makan kepada makhluk Allah.

2. Jika engkau suami, buat istri tersenyum meski hanya sekali di hari itu. Jika engkau istri, minta ridho suamimu di pagi hari dan sebelum tidur.

3. Ringankan 1 urusan orang lain. Meski itu hanya sekedar mengambilkan barang orang lain yang terjatuh.

4. Sholatlah di awal waktu, dan lengkapi dengan sunnah sebelum / sesudahnya.

5. Jangan bermuka masam tatkala di hadapan orang lain.

Bismillah, doaku semoga aku bisa menjadi orang yang bisa membiasakan hal tersebut setiap harinya. AAMIIN

Continue reading ORANG BAIK

Jumat, 20 November 2020

AISYAH – RUMAH TANPA ATAP

 Tulisan ini diberikan untuk pengingat bagi diriku sendiri, agar nanti ketika menjadi orangtua, aku tidak akan melakukan apa yang ibu bapakku pernah lakukan. Mungkin, buku ini tidak akan pernah sampai ke tangan ibu dan bapak, karena aku tidak sampai hati untuk menyampaikannya. Buku ini berfungsi sebagai pengingat bagi diriku dan melepaskan luka yang selama ini kurasakan yang hanya kusimpan sendiri.

Drrrt… drrrrt…. drrrrt… Handphone-ku bergetar. Dengan ogah, aku pun mengambil handphone. Setelah kulihat, ternyata itu telepon dari Ibu. Sejak beberapa hari lalu, Ibu memang sedang pulang ke kampung halamannya, sehingga kami berhubungan hanya via gadget.

“Halo, Bu! Ibu sehat?”

“Iya, dik. Alhamdulillah Ibu sehat.”

“Dik, bapak tuh ngeselin. Pak Amir bilang kalau bapak orangnya banyak omongnya, tetapi tindakannya nol besar. Bapak nggak sayang sama anak dan istrinya, punya harta nggak diurus.” cerita Ibu panjang kali lebar. Ibu cerita hingga lebih kurang 40 menit lamanya.

Pak Amir yang diceritakan adalah seseorang yang dipercaya oleh Ibu untuk mengobati penyakitnya. Beliau berasal dari kampung halamannya, Jepara. Sejak usiaku 6 tahun, ibu selalu sakit-sakitan. Aku ingat sekali, ketika itu, setiap Jumat malam ibu selalu sakit kepala. Entah kenapa. Hingga akhirnya ibu mempercayai bahwa Ibu kena guna-guna dari tetangga sebelahnya. Ketika itu, ibu membuka warung di rumah kontrakan, dan ibu sangat menyukai kegiatan itu. Tak berapa lama ibu mendirikan warung, tetangga sebelah mengikuti Ibu membuka warung juga. Entah ilham darimana, ibu berobat ke pengobatan alternatif dan diketahui bahwa sakitnya ibu itu berasal dari guna-guna tetangga sebelah.

Ibu sebenarnya memiliki pengalaman serupa sebelum menikah. Menurut cerita, ketika ibu masih gadis, ia selalu merasa mukanya panas dan penuh dengan jerawat. Ibu berobat kesana kemari, ke kilinik kecantikan, rumah sakit, dan dokter, tetapi tidak kunjung sembuh. Kemudian oleh budenya, Ibu diberitahu bahwa ibu sakit seperti itu karena diguna-guna oleh orang yang menyukai ibu sejak SD. Di kampung halaman ibuku, masih sangat kental kepercayaan seperti itu. Lalu, ibu pun sembuh dengan pergi ke orang pintar.

Kepercayan ibu mengenai hal gaib memang sudah mengakar. Ketika sakit, otomatis ibu berpikir bahwa ia sakit itu karena kena guna-guna ataupun diserang oleh jin. Keadaan ini sungguh menyedihkan bagiku. Ada pertentangan batin di diriku. Aku percaya bahwa ada hal-hal gaib di dunia ini, tetapi jika penyebab sakitnya ibu karena hal tersebut, aku meragukan. Aku sangat takut jika ibadah ibu selama ini tidak diterima karena ia percaya akan hal-hal tersebut. Tak tahu apa yang bisa kulakukan agar ibu berhenti percaya dengan hal-hal tersebut. Persuasi sudah dilakukan, tetapi ibu tetap bersikeras dengan kepercayaan ibu. Hanya doa di setiap sujud yang bisa kuusahakan. Aku berdoa agar ibu senantiasa diampuni dosanya, meninggal dalam keadaan husnulkhatimah, meninggal dalam keadaan bertobat, dan dijauhkan dari api neraka. Aku takut sekali, Ibu tidak bahagia di dunia, di akhirat pun tidak bahagia. 

Kembali ke cerita Bapak, bapakku lahir di dekat Candi Prambanan. Beliau lahir dari orangtua yang cukup berada secara finansial dan memiliki harta waris yang cukup besar, sekitar dua milyar jika dirupiahkan. Namun, sayangnya bapak tidak pernah mengurus harta tersebut. Entah apa yang bapak pikirkan.

Saat ini, kami menetap di ibukota Jawa Barat, mengontrak di sisi kota. Sejak aku lahir hingga sekarang, kami selalu berpindah-pindah rumah. Malu? Jelas! Malu sekali. Aku bahkan tak pernah berani mengundang teman untuk main ke rumah karena aku malu, rumahku hanyalah sebuah kontrakan. Saat ini profesi bapak yaitu sebagai pasukan kebersihan di kelurahan dan penjual cilok keliling. Menyedihkan! Mungkin teman-teman akan berpikir aku tidak bersyukur karena bukankah mencari nafkah itu yang penting halal. Bapak mencarinya dengan halal dan bapak mau untuk berjuang. Namun, bukan itu yang menjadi masalahku. Selalu menjadi pertanyaan bagiku, mengapa bapak harus susah-susah seperti itu, sementara bapak memiliki harta yang cukup besar di tanah kelahirannya. Apa susahnya untuk mengurus harta waris tersebut? Apa yang bapak takutkan?

Teringat suatu pengalam ketika aku SD.

“Aiiiir aiiiir” ujar teman di kelasku.

Bapakku adalah seorang penjual air keliling dengan menggunakan gerobak. Aku sakit hati sekali mendengar temanku memanggil namaku dengan sebutan Air. Aku dilahirkan dan dibesarkan di Kota Bandung, dengan kondisi bapak di PHK ketika usiaku baru 2 tahun. Setelah itu, yang kuingat bapak pernah menggadaikan ijazahnya untuk membantu menjualkan air pada seorang pemilik torn air. Menurut cerita dari ibu, bapak pun pernah menjadi sales buku, menjual rujak, dan lain sebagainya.

Bapakku sebenarnya merupakan lulusan Pendidikan Bahasa Inggris di suatu Akademi Bahasa Asing, Namun, setelah mengalami PHK dari kantornya yang lama, entah kenapa bapakku susah sekali mendapat pekerjaan lagi. Padahal, logikanya di zaman dahulu memiliki kemampuan Bahasa Inggris menurutku kemampuan langka. Namun, entahlah…

Dengan dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan perkotaan, membuatku minder memiliki bapak yang hanya berprofesi sebagai tukang air. Aku berubah menjadi orang yang sangat minder. Aku takut untuk dihina, aku malu mengakui bahwa bapakku adalah tukang air. Aku takut sekali jika aku mengakui profesi bapakku yang hanya tukang air, teman-temanku akan menjauhiku. Ibu selalu bercerita bahwa keluarga kami dijauhi karena miskin.

Benar saja, hingga dewasa sebenarnya aku memiliki kecanggungan dalam bersosialisasi dengan orang lain apalagi sampai memiliki hubungan dekat. Pada akhirnya, aku jarang sekali memiliki sahabat atau seperti orang-orang yang bisa punya teman hingga 8 tahun lamanya. Aku membuat benteng untuk duniaku sendiri. Aku takut tidak diterima.

Secara langsung, aku memang tidak pernah tidak mengakui beliau sebagai bapakku. Aku menyayangi bapakku. Aku menganggap bapakku seperti orangtua pada umumnya. Namun, aku seringkali menahan emosi mengapa bapakku bisa seperti itu. Tidak seperti bapak-bapak yang lain. Kamu pernah bayangkan tidak? Aku, anak yang berkuliah di PTN, jika pulang kuliah dijemput hanya menggunakan sepeda? Sebenarnya aku malu, aku selalu berdoa semoga teman-temanku tidak ada yang melihat.

Belum lagi, doktrin dari ibuku yang sejak aku kecil, selalu mengatakan bahwa keluarga bapakku memiliki perangai yang buruk. Oiya, keluargaku juga keluarga rantauan, jadi kita jarang sekali bertemu saudara. Ditambah ketidak-akuran, akhinya 1 tahun 1 kali bertemu saudara pun tidak. Aku pun merasa aku tidak punya siapa-siapa selain keluargaku sendiri--berempat.

Bapak memiliki masalah dengan keluarganya. Masalah keluarga yang umum seringkali terjadi. Warisan! Sejak aku lahir, aku diceritakan masalah tersebut dengan sudut pandang bapak dan ibu. Ibu selalu berkata bahwa hal ini disebabkan karena Bapak yang tidak berani mengungkapkan uneg-uneg pada keluarganya dan juga tidak berani menghadapi masalah. Hal ini pula yang menyebabkanku seringkali tidak mau dikalahkan dan disalahkan. Ini terbawa hingga saat ini.

Akhirnya, masalah warisan tersebut baru bisa selesai ketika aku sudah lulus kuliah. Aku memang pernah berbicara di dalam hati “Nanti kalau aku sudah lulus kuliah, akan aku selesaikan masalahnya”. Tidak menyangka, Allah menakdirkannya secepat itu. Tepat bersamaan ketika aku Sidang Hasil Penelitian, masalah itu muncul kembali. Kita sekeluarga diharuskan ke Yogyakarta. Belum lagi, ada perdebatan terlebih dahulu di rumah. Selepas sidang, kita pun langsung pergi menuju Yogyakarta, untuk menangani masalah tersebut.

Konflik, konflik, dan konflik terus menerus terjadi. Akhirnya, setelah aku melakukan Sidang Komprehensif, kuhadapi semuanya. Aku dan bapak pergi berdua ke Yogyakarta, menyelesaikan setiap masalah. Seperti biasa, bapakku hanya diam dan jika ada konflik, cenderung menyerah. Akulah yang harus maju menghadapi masalah tersebut. Masalah selesai, namun menimbulkan efek psikis di diriku. Sepulang dari sana, ibuku sempat mengatakan hal-hal yang negatif kepadaku, seperti “Durhaka”. Padahal, aku memperjuangkan hal tersebut hanya demi ibu, bukan diriku. Namun, perlakuan yang kuterima dari ibu tak kusangka.

Sampai di rumah, aku memiliki ketakutan yang besar. Aku takut keluarga bapak akan memfitnahku, tetapi nanti tidak akan ada yang membela. Bapak diam, ibu menyalahkan, kakak tidak tau apa-apa. Aku takut. Akhirnya, kuputuskan untuk mencari bantuan professional. Saat itu, aku belum bisa menerima saran dari professional untuk pergi saja dari rumah, sehingga aku ingin mencoba bunuh diri. Konyolnya, aku mencoba bunuh diri dengan membiarkan ikut donor darah padahal belum makan. Akhirnya aku pingsan. Seminggu setelahnya, akhirnya aku bisa bangkit kembali. Aku ikhlaskan semua yang sudah terjadi.

Bapak, aku mengerti menjadi bapak bukanlah hal yang mudah, ada tantangan yang luar biasa. Sering melakukan kesalahan, tidak tahu sebaiknya seperti apa. Aku hanya ingin bapak bisa mengayomi keluarga seperti bapak-bapak yang lainnya. Aku hanya ingin bapak memiliki keinginan untuk berjuang demi anak dan istrinya. Aku sadar, selama ini bapak telah berjuang semaksimal mungkin yang bapak bisa. Akupun berusaha untuk tidak menuntut bapak. Namun, luka-luka yang kautorehkan di masa lalu membuatku lelah. Aku ingin memiliki sosok yang dapat kuteladani.

Istri, dua anak, gorong-gorong, menjual cilok, dan gadget. Dalam lingkaran itulah hidup bapakku berputar, hari demi hari, tahun demi tahun. Bapak bekerja menjadi petugas kebersihan di kelurahan hingga siang. Kemudian siang hingga malam dilewatkannya dengan berjualan cilok keliling. Terkadang, dibantu oleh ibu. Ibu berjualan di pagi hari dengan mangkal di depan sebuah warung.

Seringkali aku berpikir, usia bapakku sudah tak muda lagi, mau sampai kapan mencari nafkah dengan jalan seperti itu. Mengapa bapakku tak berjuang saja menjual warisannya , kemudian membuka usaha, membeli rumah, dan hidup lebih tenang? Entahlah… Terkadang pikiran orangtua pun sulit sekali ditembus oleh pikiran anak muda sepertiku.

Teringat ketika dahulu, aku sedang mempersiapkan diri untuk menghadapi tes SBMPTN. Kala itu, aku diterima di sebuah beasiswa bimbingan belajar, dan diasramakan agar fokus belajar. Ketika itu, aku belajar sungguh-sungguh, melebihi teman-teman lainnya. Masih belajar saat yang lain tidur. Hadirnya bapak di memoriku sekaligus menjadi suntikan semangat. Aku berjuang demi bapakku!

Namun, bapak, ternyata menjalani hidup menjadi seorang perempuan dewasa bukanlah hal yang mudah. Aku sangat bermimpi, jika aku sudah lulus kuliah, aku bisa membantu bapak dan ibu, bisa meringankan beban bapak dan ibu, bisa mengubah hidup bapak dan ibu, bisa menaikkan harkat dan martabat bapak dan ibu. Sayangnya, harapan itu kandas, bapak. Aku tak sanggup memiliki gaji seperti lulusan Perguruan Tinggi Negeri pada umumnya. Aku merasa gagal. Aku kecewa pada diriku. Aku patah hati, Bapak.

Bapak, maafkan aku jika aku seringkali menuntutmu untuk berlaku yang kumau. Aku tak memikirkan perasaanmu. Aku tak memikirkan sudut pandangmu. Aku hanya berpikir tentang aku, aku, dan aku. Aku hanya berpikir tentang keinginanku, keinginanku. Aku luput memikirkan bagaimana jika aku berada di posisi bapak. Aku hanya berharap bapak bisa terus membahagiakan ibu.

Ibu, aku hanya berharap ibu bisa bahagia dengan jalan ibu sendiri. Tolong bu, jangan lagi percaya dengan hal-hal gaib yang menyerang ibu. Aku mohon ibu fokus saja yakin kepada Allah. Aku sangat sayang pada ibu. Aku selalu setia menemani, selalu memberikan apa yang ibu inginkan.

Aku hanya berharap bapak dan ibu selalu akur, bisa saling melepaskan ego masing-masing. Berdamai dan menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing. Bahagia dunia dan akhirat. Di masa tua hanya tinngal menikmati hasil jerih payah di masa muda.

Yang dirasa setelah menulis surat ini, bingung. Karena sedihnya masih ada, mengingat kondisi bapak ibu yang tidak pernah berubah, selalu bertengkar, apalagi kemarin baru saja bertengkar hebat. Jadi, aku sebagai anak hanya berharap semoga semuanya akan baik-baik saja, dan aku bisa hidup lebih baik dari sekarang, agar bisa membahagiakan kedua orang tua.

Diperuntukkan untuk kontribusi di Buku Untuk Ayah dan Ibu

Continue reading AISYAH – RUMAH TANPA ATAP

BELUM SELESAI


Aku ingin pergi keluar dari rumah. Keinginan tersebut sudah ada sejak aku berada di tingkat SMK. Bahkan, bisa dibilang dahulu aku ingin masuk SMK tersebut karena ingin sibuk, tidak mau lama-lama berada di rumah. Aku kesal ketika ibuku selalu complain dengan apa yang orang lain lakukan padanya. Dari yang paling sederhana, mengomentari pekerjaanku.

“Kamu nyuci piringnya enggak bersih, ini masih bau sabun.”

Atau di kesempatan lainnya

“Bapak itu pasti sengaja mengganti resletingnya, ini tas dibenerin kok malah jadi jelek.” saat ia menerima tas yang ia benarkan ke tempat reparasi tas.

Atau

“Ini nyuci motornya nggak bersih, saya nggak mau nyuci motor disana lagi.” setelah motormya dicuci di sebuah pencucian motor.

Ada banyak sekali keluhannya. Aku tidak tahan mendengarnya terus-menerus, bisa tidak untuk memaklumi orang? Bisa tidak untuk santai jika ada kesalahan? Kenapa selalu minta sesuatu yang sempurna, semua harus dengan standarnya? Entahlah. Mungkin, memang begitulah sifatnya. Namun, jika ibuku yang melakukan kesalahan, ia akan membela dirinya. Aku tidak tahu apa yang terjadi di masa mudanya, sehingga ia bisa memiliki karakter seperti itu.

Sampai kemarin, saat ibuku pulang dari kampung halamannya, ia pun bercerita banyak hal kepadaku. Ya, ibuku memang senang berbicara dan bercerita, terutama kepadaku. Sambil aku masih saja asyik dengan kesibukanku, belajar bahasa Inggris. Ia pun menceritakan hal yang membuatku muak.

“Dik, pak Anto itu jahat, mencelakakan Ibu, dosa loh!” cerita Ibu

“Loh kok bisa, Bu?” aku menanggapinya

“Iya, di rumah ini ada setan yang mengganggu, seharusnya setannya dikeluarkan terlebih dahulu, baru dikontrakkan. Aneh dik, saya mau ngontrak dicepet-cepetin, biasanya orang ngontrakkin nggak pernah kayak gitu.” keluh Ibu.

Deg. Aku tersontak kaget. Ada hal yang tidak aku terima saat itu. Pak Anto adalah tetangga kami yang mengontrakkan rumah anaknya di awal tahun. Bahkan selain bersedia untuk rumahnya dikontrak oleh kami, ia pun memberi keringanan dengan kami hanya membayar satu juta lebih murah dari yang seharusnya. Maka, rasanya jahat sekali jika Ibu menuduh seseorang yang sudah berbuat baik, mencelakakan Ibu, apalagi berkaitan dengan setan.

“Nggak lah, Bu, pak Anto kan udah baik sama kita, beliau mau mengontrakkan rumahnya ke kita.” jawabku dengan raut wajah mengkerut, masih tidak terima dengan pernyataannya.

“Nggak, dik, pak Anto itu sengaja, harusnya dia bilang kalau disini ada setan yang mengganggu, dan dikeluarkan dahulu, baru dikontrakan ke kita.” Ibu keras kepala menjelaskannya.

Aku tidak habis pikir dengan apa yang ibuku pikirkan. Bagaimana bisa ia selalu menghubungkan segala sesuatu dengan setan. Bahkan, ia bilang setan itu keterlaluan karena telah mencampuri kehidupan manusia. Hmmm… cukup aneh pikirku. Tugas setan kan memang mengganggu manusia. Bagaimana manusia meresponnya, itulah yang menjadikan berbeda. Bukankan mausia memiliki akal, setan tidak? Bukankan setan memang akan masuk neraka, sementara manusia punya pilihan, syurga atau neraka? Aku tidak tahan dengan pikiran-pikiran Ibu. Aku hanya ingin ibu menjaga ucapan yang keluar dari mulutnya. Janganlah hal-hal yang negatif terus-menerus, nanti bagaimana jika itu kembali ke ibu sendiri. Aku mengkhawatirkannya dan berusaha untuk menjelaskan.

“Ibu kan hanya cerita, bukan bener-bener menjelekkan pak Anto, dek.” Ibu berusaha menjelaskan

Memang, di dalam hatiku pun timbul perasaan gamang. Jangan-jangan, aku saja yang salah menanggapi, ibu hanya cerita, tetapi aku malah menanggapinya begitu. Aku pun kemudian masuk ke kamar, sudah tidak mau lagi berdebat dengan ibu.

Beberapa saat kemudian, dari luar kamar, ibu berbicara kepadaku. “Kenapa semangkanya ditaruh di freezer? Memang kamu nggak tahu kalau nggak bisa ditaruh di freezer, saya udah bilang, taruh saja di kulkas” Aku kesal. Aku juga bingung saat itu, ketika bapak pulang dan membawa semangka besar dengan berat lebih kurang 5 kg, tidak mungkin habis dalam satu waktu, tetapi jika ditaruh di kulkas akan tidak enak, mau dibuat jus, blender rusak. Sehingga yang aku pikirkan saat itu, biarlah yang penting tidak basi. Namun, ternyata semangkanya jadi tidak bisa dimakan. Ada perasaan bahwa ibu tidak mengerti posisiku. Aku jawab saja, “nggak tahu, bu!”. Ibuku menanggapi, “Masak tidak tahu, saya kan sudah berpesan!”. Aku yang sedari tadi menahan emosi, akhirnya memuntahkan segalanya. Kubilang, “Ketika menaruh semangka, ada Kakak dan Bapak juga, kenapa aku yang disalahkan?”. “Ibu tidak menyalahkan, ibu hanya bertanya.”

Seketika, di hatiku seperti ada api yang membara. Ingin rasanya ibu mengerti dengan apa yang kumaksud. Bisakah ibu sedikit saja

#DAY 35

Continue reading BELUM SELESAI

MENCUCI PIRING

Sudah sejak 2 hari lalu, aku tak mencicil untuk mencuci piring, dan sekarang kulihat piring sudah menumpuk bagaikan gunung. Gunung yang jika tersenggol, pecah semua. Meski sudah menumpuk layaknya gunung, rasanya ragaku sangat malas untuk beranjak mencucinya. Satu atau dua piring kucuci, padahal akan mengurangi tumpukan. Namun, niatku tak kunjung datang. Biarlah yang lain saja yang mengerjakan.

Waktu semakin berjalan, tumpukan cucian tak juga berkurang. Sejenak ‘ku berpikir, apa aku saja yang mencucinya. Melihat ibu, kesehatannya sudah mulai mudah lelah, rasanya tidak tega untuk membiarkan Ibu mengerjakannya. Semalam, ibu pun sudah mencicil, tetapi ibu bilang kalau hanya bisa mencuci sedikit saja, nanti sore akan dilanjutkannya.

Ketika aku kembali lagi ke dapur, tumpukan cucian menarik perhatianku. Jika tidak dicuci-cuci, mau sampai kapan tidak dicuci. Lagipula, piring bersih yang tersedia untuk makan siang pun sudah tidak ada. Kalau ibu atau bapak yang harus mencuci, rasanya tega sekali. Bagaimanapun, usia mereka sudah tidak muda lagi, begitu pula dengan kekuatannya. Ditambah, bapak pun harus mencari nafkah dari pagi hingga malam.

Akhirnya, aku pun beranjak untuk mencucinya. Kupikir mencuci satu atau dua piring akan lumayan mengurangi tumpukan dan juga pekerjaan. Kuputuskan mencuci semua peralatan makan yang ringan-ringan, seperti sendok, gelas, piring, dan mangkuk. Panci, baskom, dan peralatan yang besar-besar, nanti sajalah dikerjakannya. Banyak hal juga yang menanti untuk dikerjakan.

Saat mencuci, aku pun kemudian terpikir sesuatu. Mencicil cucian piring, sama saja jika kita sedang menghadapi masalah. Jika ada masalah, kemudian aku tumpuk-tumpuk saja dan malas untuk mencicil menyelesaikannya, kapan mau selesai, yang ada bahkan semakin bertambah.  Bahkan bisa juga pecah, layaknya piring-piring yang ditumpuk itu. Tersenggol, pecah deh, urusan akan semakin runyam. Memang, insight bisa didapatkan dari mana saja, asal kita mau berpikir.

Ya Allah, aku mohon jadikanlah aku orang yang berani dalam menghadapi masalah. Tidak menumpuk masalah, namun jika ada masalah, aku segera menyelesaikannya. Aamiin.

#DAY 34

Continue reading MENCUCI PIRING

Selasa, 17 November 2020

FEEDBACK

 Tentang Feedback. Di kelas 30DWC kemarin, ada sesi feedback. Sesi feedback terdiri dari feedback dari mentor dan juga feedback dari sesame fighter. Awal mengikuti tersebut, saya masih oleng, saya membuka tulisan fighter yang akan di feedback, setelah membaca, saya pun terdiam karena saya bingung harus mem-feedback apa. Saya pikir tulisannya sudah bagus, apalagi yang perlu dikritisi. Memang modal saya dalam mengikuti 30DWC, bisa dibilang ilmu nekat. Saya belum faham mengenai bagaimana penulisan yang baku, bagaimana penulisan yang baik dan benar sehingga saya pun belum mengetahui apa yang perlu saya berikan ke teman-teman fighter.

Setelah beberapa hari mengikuti, saya pun mulai beradaptasi, melihat bagaimana fighter lain memberikan feedback. Ditambah, saya mengikuti kelas nulis bareng dan saya melihat bagaimana cara mem-feedback. Dampaknya luar biasa! Dengan memberikan feedback pada fighter lainnya, saya menjadi belajar bagaimana menulis dengan benar, bagaimana penggunaan kata baku, dan lainnya. Selain itu, dengan memperhatikan feedback yang diberikan oleh fighter lainnya, saya pun belajar.

Dengan memberikan feedback, berarti kita peduli dengan orang lain, dengan peduli, kita belajar dari kesalahan orang lain. Sepenting itu dan saya baru saja menyadarinya. Saya merefleksikan ini dalam kehidupan sehari-hari yang saya jalani. Mungkin selama ini, saya bukanlah orang yang terbuka dalam menerima maupun memberikan feedback. Maka, saya belajar dari kelas 30DWC ini untuk berusaha mampu terbuka terhadap apapun feedback dari orang lain.

Feedback dari orang lain bisa saja disampaikan dengan cara yang kurang kita sukai. Namun, kita harus memiliki mindset yang positif, bahwa orang tersebut mau memberikan feedback pada kita karena dia sayang, dia peduli. Terlambat lebih baik daripada tidak sama sekali. Ya, mungkin kalimat itu cocok untuk disematkan pada saya. Bisa saja saya terbilang terlambat untuk menyadari hal sepenting itu. Namun, saya pun bersyukur saya mampu memaknainya sekarang.

Selanjutnya, saya siap untuk menjadi orang yang memiliki growth mindset. Bismillah. Sambal saya menyelami diri saya, saya mencoba untuk merefleksikan diri.


#DAY 33

Continue reading FEEDBACK

LEBIH BAIK BERKARYA DARIPADA BER-EMOSI

Waktu menunjukkan pukul sepuluh, aku pun bersemangat mengirimkan pesan pada Kakak. Aku ingin memberi kabar bahagia karena sudah selesai masak.

“Kak, adik udah selesai masak ayam teriyaki, tempe uleg bumbu kencur, dan sayur sop sawi.” pesan dikirimkan

“Nggak sabar pengen nyobain.” balas sang Kakak

“Iya, banyak banget lagi, ayam ½ kg jadinya sewajan gede.” ceritaku

“Iya, waktu itu kakak masak juga dibagi 2 resep karena banyak.” jawab sang kakak

Pasalnya, aku memang menyukai kegiatan memasak, rasanya seperti ada gairah sendiri jika memasak.

Pesan masuk lagi.

“Ade, segera belajar 2 minggu lagi kita tes toefl, 550 ya skornya, awas kalo nggak!” ancam sang Kakak

Rencananya, kami berdua memang akan mengikuti tes toefl, dan menargetkan skor 550 tersebut.

Namun, pesan tersebut sekaligus membuat bete seketika.

Kubalas “Bye!”

Malas menjawabnya.

Disadari, memang Kakak berniat baik, ingin mengingatkanku agar segera belajar. Namun, entah kenapa ada rasa kesal. Aku tahu kok kapan harus belajar. Aku punya perhitungan kok. Aku juga punya rencana sendiri, setelah masak kemudian salat duha, aku akan belajar serius dan fokus. Bukan tanpa alasan aku memilih masak terlebih dahulu, karena ayahku sebentar lagi pulang dan akan makan siang, kalau masaknya di nanti-nanti, kupikir akan lebih menghabiskan waktu. Entahlah. Kadang mungkin memang kakak hanya berniat mengingatkan, tetapi aku merasa kakak mengaturku, memaksaku, padahal aku adalah pribadi yang sudah dewasa, aku pun bisa mengatur mana yang buatku prioritas atau bukan.

Setelah merenung beberapa menit, aku menyadari bagaimanapun kakak tidak bersalah, ia hanya ingin mengingatkan meski terkesan memaksa. Ia sayang padaku. Selanjutnya, bete dan kesal boleh. Namun, kalau kelamaan juga tidak efektif. Sehingga, kuputuskan untuk merubah makna dan segera menuliskannya agar emosiku tidak terpendam yang kemudian bisa meledak suatu saat nanti.

Kita memang tidak bisa mengatur orang lain untuk berlaku apa yang kita mau. Namun, kita bisa mengatur respon diri ini ke orang lain. Semangat selalu memperbaiki diri. Lebih baik berkarya, daripada ber-emosi. Hehe.

DAY 32

Continue reading LEBIH BAIK BERKARYA DARIPADA BER-EMOSI

Minggu, 15 November 2020

SETELAH 30DWC, Lalu apa?

Alhamdulillah, apresiasi untuk diri ini, yang telah berhasil menyetorkan tulisan dan konsisten menulis selama 30 hari plus menjadi guardian. Rencana jangka pendeknya adalah ingin selalu menuliskan apa saja yang ada di pikiran, selain untuk melatih konsistensi, juga untuk melatih diri dalam menuangkan pikiran dalam bentuk tulisan. Harapannya, setelah 30 hari, tidak putus menulis. Meski tidak dalam lingkungan yang memiliki rutinitas yang sama ataupun mendapatkan feedback, setidaknya ingin melatih diri ini untuk tetap konsisten tanpa aturan atau lingkungan yang memadai.

Ada beberapa yang ingin kukejar dalam waktu dekat ini, diantaranya Project Membuat Antologi Buku Untuk Ayah dan Ibu, Nulis Bareng Simpel Publisher, dan Dunia Pasca Covid-19 dari Elitirate. Tenggat waktunya pun berdekatan, dan belum dicicil haha. Kayak semacam buntu, belum ada ide gitu. Yang paling dekat harus diselesaikan sebenarnya Buku Untuk Ayah dan Ibu. Sudah ada draftnya, namun belum percaya diri, takut itu terlalu emosional dan privacy untuk dibagikan.

Kemudian, untuk jangka panjangnya, ingin menerbitkan satu buah buku, ide sendiri dan dengan kekhasan sendiri. Ingin membahas lebih ke hal-hal yang orang belum banyak tahu, dari sisi sejarah, agama, budaya, pemikiran, gitu-gitu. Namun, sebelum kesitu, ada hal yang lebih penting. MEMBACA!!! Itu PR banget sih buat aku, karena buku banyak di rumah, tetapi sudah jarang membaca buku.

Padahal membaca buku adalah amunisi bagi penulis. Untuk sekarang, belum mau muluk-muluk menciptakan karya yang WOW atau apa, yang penting tetap bisa mencurahkan isi hati dulu saja. HEHE


#DAY 31

Continue reading SETELAH 30DWC, Lalu apa?

Sabtu, 14 November 2020

Pengalaman mengikuti 30 DWC


 

Jujur, ini kali pertama saya mengikuti kegiatan 30 DWC berbayar, yang gratis juga belum pernah sih. Hehe. Hanya, saya pernah menantang diri saya nulis selama 30 hari tanpa lembaga, alias inisiatif sendiri. Namun, tidak tuntas, karena sebelumnya sudah dibuat judul-judul, hari kesekian judul apa dan begitu seterusnya. Ketika judulnya tidak menarik untuk saya, jadi tidak semangat untuk menuliskannya.

 

Pertama kali mengikuti, kemudian saya sok-sok an jadi guardian. Haha. Padahal sangat tidak terbayang tugas guardian itu bagaimana. Yang saya pikirkan hanya terima tantangan saja. Oke. Tantangan dimulai dan ternyata tidak mudah. Wkwk. Di sela-sela menulis, ada aktivitas feedback dari sesama peserta yang berbeda grup. Ketika itu, ada salah seorang fighter di squad saya yang menanyakan perihal jadwal feedback tersebut, saya pun menjawab dan dibantu juga oleh salah satu fighter dari squad yang sama. Namun, fighter tersebut belum mengerti-mengerti, hingga akhirnya terucaplah bahwa fighter menyalahkan ketidak-aktifan saya sebagai ketua kelas. Hmmmm.. Ketika itu, saya tidak terima dengan perkataannya, karena sebenarnya posisi kita pun sama, peserta. Namun, saya hanya meminta maaf karena belum bisa menjadi ketua kelas yang baik. Perdebatan selesai, dan ia pun mulai mengerti tentang schedule yang ada. Syukurlah.

 

Uniknya, beberapa hari kemudian, fighter tersebut mengirimkan pesan pada saya, ia mengatakan beberapa hari ini hatinya tak tenang, ingin meminta maaf atas kesalahannya kemarin. Saya pun jujur mengatakan bahwa saya kesal disebut kurang aktif, ya karena semuanya posisinya setara, ini pun kali pertama saya ikutan kelas menulis dan sejenisnya. Semestinya saling dukung saja, tidak perlu saling menyalahkan. Dengan permintaan maafnya dan menyadari kondisinya, saya pun memaafkannya. Disitu, saya sadar bahwa memang sangat penting untuk sadar jika berbuat kesalahan dan berani meminta maaf. Saya pun menjadi salut kepada fighter tersebut karena menyadari kesalahannya dan berani meminta maaf. Kekesalan saya pun sudah tak berbekas. Bahkan saya sempat memintanya untuk memberikan feedback pada tulisan saya.

 

Kalau ditanya bagaimana rasanya ikut 30 DWC? Hmmmm… Nano-nano rasanya. Kadang bersemangat, kadang malas, kadang tidak tahu mau menulis apa. Namun, yang terpenting, saya terus memaksa diri untuk terus menulis karena tujuan saya di awal. Saya ingin memberanikan diri untuk berkarya. Di tengah-tengah prosesnya, saya cukup banyak mendapatkan informasi mengenai kegiatan yang sama yang diadakan oleh lembaga lainnya. Saya kemudian bersemangat untuk mengikutinya. Saya hanya berpikir saya tidak bisa hanya sampai disini saja. Saya harus terus berproses. Masih teringat jelas ketika menulis dengan tema juang saya benar-benar mendapatkan feel-nya. Ternyata, menulis dari hati akan jauh lebih enak dan mengesankan, khususnya untuk diri saya sendiri.

 

Terakhir, saya ucapkan terimakasih kepada superteam 30 DWC yang telah memfasilitasi kegiatan ini. Ada kelebihan, ada pula kekurangan. Semoga 30 DWC ini semakin berkembang dan juga semakin menyebar manfaatnya.

 

Dengan bimbingan mentor Rezky Firmansyah Adm dan Kak Rizka Amalia Shofa. Beserta superteam kak Sarikusuma Wijaya dan kak Stephanie Prisca Dewi

 #DAY 30

#30dwcjilid26

#finalchallenge26

Continue reading Pengalaman mengikuti 30 DWC

Jumat, 13 November 2020

TERKENANG-KENANG

KENANG. TERKENANG

Sebuah kata yang ketika aku mendengarnya, membuat memoriku terbang jauh ke masa lampau. Memoriku kemudian memilah-milah apa yang ingin dikenang dan yang tidak ingin dikenang. Ketika sampai pada sebuah peristiwa yang menyedihkan, mukaku akan langsung muram. Begitu juga ketika sampai pada sebuah peristiwa yang menyenangkan, mukaku akan langsung menyunggingkan senyum dan hati pun menjadi bahagia. Dampak dari mengenang sesuatu bisa sehebat itu.

Dahulu, ketika masa-masa menunggu pengumuman SBMPTN, aku sering sekali menghabiskan waktu untuk berkegiatan di sebuah masjid di Kota Bandung. Kala itu, aku terdaftar sebagai Panitia Persiapan Ramadhan. Menyenangkan sekali mengingatnya. Aku berkenalan dengan teman-teman yang terdiri dari latar belakang sekolah yang berbeda-beda.

Aku takjub dengan salah seorang teman yang menurutku sangat aktif. Ia mengikuti berbagai aktivitas organisasi. Pikirku, ia tak mengenal rasa lelah. Kesana kemari, selalu ada kegiatan. Lalu, pernah suatu kali aku bertanya padanya, mengapa ia bisa seaktif itu. Jawabannya cukup menohok bagiku.

“Kita, nanti ketika sudah meninggal, mau diingat sebagai pahlawan yang ditulis biografinya atau dikenal hanya sebatas 3x4 batu nisan?”

 Deg. Kata-kata tersebut seketika memasuki relung hatiku. Di dalam hati, aku membenarkan perkataannya. Jika mau hidup biasa-biasa saja, ya mungkin juga tak akan punya pengaruh. Sejak saat itu, aku selalu terkenang dengan perkataannya. Aku selalu memegang prinsip tersebut.


#DAY 29

Continue reading TERKENANG-KENANG

Kamis, 12 November 2020

HATI YANG BERJUANG

 JUANG. BERJUANG.

Ketika mendengar kata tersebut, seketika emosiku menjadi tidak menentu. Terkadang merasa payah, apakah diri ini sudah berjuang semaksimal mungkin? Seringkali mengeluh pada Sang Pencipta, ‘Apa yang salah dalam diri ini? Mengapa Engkau tak juga menghantarkanku pada posisi yang kumau? Mengapa? Mengapa? dan Mengapa?’ Terus-menerus bertanya dan memaksakan kehendakku pada-Nya.

Namun, ada satu hal yang kulupa. Berjuang! Apakah apa yang kuperjuangkan sudah sesuai dengan arahan-Nya? Apakah apa yang kuperjuangkan memang benar-benar yang mau kuperjuangkan? Jawabannya hanya bisa ditemukan dengan refleksi, menyelam ke dalam diri. Mungkin akan menjadi perjalanan yang tidak mudah dan cukup panjang, tetapi jika tidak pernah memulai, tidak akan pernah juga selesai.

Teringat saat sekitar tujuh tahun yang lalu. Tatkala aku masih duduk di bangku SMK. Ramai teman-teman memperbincangkan setelah SMK mau melakukan apa, apakah bekerja, kuliah, atau membuka usaha. Rata-rata anak lulusan SMK diarahkan untuk bekerja. Ya, memang jalannya pun akan lebih mudah jika memilih untuk bekerja. Yang unik di angkatanku itu banyak yang menginginkan untuk melanjutkan ke jenjang kuliah dibandingkan bekerja.

Aku sendiri, posisinya adalah anak SMK yang pelajaran dasar untuk mengikuti ujian SBMPTN pun masih belum menguasai. Ingin rasanya mengikuti bimbingan belajar, apa daya, orangutaku tak mumpuni soal finansial. Lalu, apa yang kulakukan? Saat itu, aku berani untuk mencari celah apa yang harus aku lakukan untuk bisa meraih impian menjadi mahasiswa perguruan tinggi negeri.

Berbagai hal kulakukan, dari mulai mengumpulkan buku-buku kumpulan soal SBMPTN tahun-tahun sebelumnya, belajar bersama teman, mengikuti seleksi beasiswa bimbingan belajar, belajar hingga tengah malam melebihi teman-teman lainnya, bahkan belajar dari setahun sebelumnya. Perjuangan itupun membuahkan hasil, aku menjadi salah satu mahasiswa perguruan tinggi negeri. Ternyata yang terpeting bukanlah hasilnya. Diterima atau tidak diterima. Tercapai atau tidak tercapai. Itu bukan tanggungjawab kita sebagai manusia. Ada peran Sang Khalik yang memutuskan kita pantas mendapatkannya. Yang perlu kita latih terus ke dalam diri kita adalah semangat untuk selalu berjuang, tak peduli seberapa besar badai yang menerpa.

Teringat satu quote yang acapkali menambah semangatku. Hatiku tenang karena mengetahui apa yang melewatkanku tidak akan pernah menjadi takdirku, dan apa yang ditakdirkan untukku tidak akan pernah melewatkanku.

#DAY 28

Continue reading HATI YANG BERJUANG